Disusun sebagai Tugas Psikoterapi dalam IslamDosen Pengampu CiciYulia, M.Pd
Kelompok
1
Disusun Oleh
:
Dwi Putri Wulandari 1601015046
Paramita Kurnia Damayanti 1601015056
Wiwi Rhamadona 1601015073
Erina Kemalasari 1601015078
Alfi Nur Madani 1601015082
Kirana Prabadini 1601015102
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM
STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbil ‘aalamin puji
syukur selalu kita panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan nikmat
beliaulah kita bisa merasakan manis dan pahitnya hidup dan dengan nikmat itu
pula kita bisa menyelesaikan tugas mata kuliah Psikoterapi dalam Islam ini
dengan baik dan lancar.
Allahumma Sholli ‘ala Sayyidina Muhammad. Mudah–mudahan
tetap terhaturkan kepada Nabi Muhammad SAW karena atas perjuangan beliaulah
yang telah membawa kita dari jalan kebodohan menuju jalan kecerdasan sehingga
kita dapat menyelesaikan dengan beberapa ilmu pengetahuan.
Penulisan makalah ini adalah salah satu persyaratan untuk
memenuhi tugas Psikoterapi dalam Islam. Dan selanjutnya penulis juga menyadari
bahwa tugas ini masih banyak kekurangan dan kesalahan, maka dari itu penulis
mengharap saran dan kritik yang membangun dalam memperbaiki tugas ini, dan
mudah–mudahan tugas ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para
pembaca pada umumnya.
Jakarta, 1 Oktober 2018
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1
A.
Latar Belakang........................................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah................................................................................... 2
C. Tujuan..................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 3
A.
Pengertian Manusia ................................................................................ 3
B.
Asal Usul Manusia.................................................................................. 3
C.
Dimensi Hakikat Manusia....................................................................... 4
D.
Tugas dan Tanggungjawab Manusia ...................................................... 8
E. Potensi
Manusia ..................................................................................... 9
BAB III PENUTUP ......................................................................................... 16
A. Simpulan
...……………………………………………………………..16
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berbicara tentang manusia
maka yang tergambar dalam fikiran adalah berbagai macam perspektif, ada yang
mengatakan manusia adalah hewan rasional (animal
rasional) dan pendapat ini dinyakini oleh para filosof. Pemikiran tentang
hakikat manusia sejak zaman dahulu kala sampai sekarang belum juga berakhir dan
memiliki kemungkinan hal tersebut tidak akan pernah berakhir. Pada
kenyataannya, orang menyelidiki manusia itu dari berbagai sudut pandang. Banyak
yang menyelidiki manusia dari segi fisik yaitu antropologi fisik, adapula yang
menyelidiki dengan sudut pandang budaya yaitu antropologi budaya, sedangkan
yang menyelidiki manusia dari sisi hakikatnya disebut antropologi filsafat.
Memikirkan dan membicarakan hakikat manusia inilah yang menyebabkan orang tak
henti-hentinya berusaha mencari jawaban yang memuaskan tentang pertanyaan yang
mendasar tentang manusia itu sendiri, yaitu apa dari mana dan mau kemana
manusia itu. Manusia dalam perkembangannya dipengaruhi lingkungan dan pembawaan
dari orang tua mereka.
Al-Qur’an memberi keterangan
tentang manusia dari banyak seginya, untuk menjawab pertanyaan siapakan manusia
itu? Dari ayat-ayat Qur’an tersebut, dapat disimpulkan bahwa manusia adalah
makhluk fungsional yang bertanggungjawab. Pada surat al-Mu’minun ayat 115 Allah
bertanya kepada manusia sebagai berikut : “Apakah
kamu mengira bahwa kami menciptakan kamu sia-sia, dan bahwa kamu tidak akan
dikembalikan kepada Kami?”.
Dari ayat ini, menurut Ahmad
Azhar Basyir, terdapat tiga penegasan Allah yaitu [1] Manusia adalah makhluk
ciptaan Tuhan, [2] Manusia diciptakan tidak sia-sia, tetapi berfungsi, dan [3]
Manusia akhirnya akan dikembalikan kepada Tuhan, untuk mempertanggungjawabkan
semua perbuatan yang dilakukan pada waktu hidup di dunia ini, dan perbuatan itu
tidak lain adalah relisasi daripada fungsi manusia itu sendiri. Berdasarkan
fakta dan paparan tersebut, maka diperlukan adanya suatu pemahaman lebih lanjut
tentang hakekat manusia menurut Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang di
maksud dengan manusia ?
2.
Bagaimana asal
usul manusia ?
3.
Apa saja dimensi
hakikat manusia ?
4.
Apa saja tugas dan tanggungjawab manusia ?
5.
Apa saja potensi
yang dimiliki manusia ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
pengertian manusia.
2.
Mengetahui asal
usul manusia.
3.
Mengetahui
dimensi hakikat manusia.
4.
Mengetahui tugas dan tanggungjawab manusia
5.
Mengetahui
potensi yang dimiliki manusia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Manusia
Manusia adalah salah satu makhluk ciptaan Allah SWt
yang memiliki peranan penting dalam kehidupan di muka bumi. Manusia juga
dipandang sebagai makhluk yang paling tinggi derajatnya dibandingkan makhluk
Allah SWT bahkan Allah menyuruh para malaikat untuk bersujud kepada Adam Alaihi
salam. Masyarakat barat memiliki pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang
memiliki jiwa dan raga serta dibekali dengan akal dan pikiran.
B.
Asal
Usul Manusia
Asal usul manusia dalam Islam dapat dijelaskan dalam
proses penciptaan manusia pertama yakni nabi Adam As. Nabi Adam AS adalah
manusia pertama yang diciptakan Allah SWT dan diberikan ilmu pengetahuan dan
kesempurnaan dengan segala karakternya. Allah mengangkat Adam dan manusia
sebagai khalifah dimuka bumi sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut ini
“Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat “Sesungguhya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah dimuka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa engkau
hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan engkau?” Tuhan berfirman:”sesungguhnya aku mengetahui apa
yan tidak kamu ketahui”.(QS.Al-Baqarah : 30)
Proses penciptaan manusia dijelaskan dalam al-Qur’an
dan bahkan penjelasan dalam Alqur’an ini kemudian terbukti dalam ilmu
pengetahuan yang ditemukan setelah turunnya Alqur’an. Ada lima tahap dalam
penciptaan manusia yakni al-nutfah, al-‘alaqah, al-mudhgah, al-‘idham, dan
al-lahm sebagaimana yang disebutkan dalam ayat berikut ini
”Dan
sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari
tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat
yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, dan
segumpal darah itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami
jadikan segumpal daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang(berbentuk)
lain. Maka Maha sucilah Allah, pencipta yang paling baik”.
(QS. Al-Mu’minun ayat 12-14)
C.
Dimensi Hakikat Manusia
1. Dimensi Individual
Dimensi individual merupakan kepribadian seseorang yang
menjadi suatu keutuhan yang tak lagi bisa dibagi-bagi. Seorang pakar
pendidikan, M.J. Lavengeld, mengungkap jika setiap orang mempunyai
individualitas.
Individualitas di sini maksudnya adalah 2 anak kembar yang
berasal dari satu telssur yang lazim diungkap, seperti pinang dibelah dua dan
sulit untuk dibedakan satu sama lain, yang mana memang kelihatannya serupa
namun tak sama, apalagi identik. Hal ini berlaku pada sifat fisiknya ataupun
dalam hidup kejiwaannya (rohani).
Setiap individu itu memiliki sifat yang unik, tidak ada
bandingannya, dengan adanya individualitas tersebut, maka setiap orang bebas
untuk berkehendak, berperasaan, menggapai cita-cita, kecenderungan, semangat
dan daya tahan yang berbeda-beda.
Salah satu bentuk contoh sederhananya saja, 2 siswa di kelas
yang memiliki nama sama, tentu tak akan pernah bersedia untuk disamakan satu
sama lain, yang berarti, maksudnya, masing-masing ingin mempertahankan ciri
khasnya sendiri yang dimiliki.
M. J. Lavengeled juga mengungkap jika setiap anak mempunyai
dorongan tersendiri untuk bersikap mandiri dengan kuat, walaupun di sisi lain
pada anak terdapat rasa yang tak berdaya, sehingga membutuhkan pihak lain, yang
dimaksud di sini adalah pendidik yang bisa dijadikan sebagai tempat untuk
bergantung dalam memberikan perlindungan dan bimbingan.
Sifat-sifat yang sebagaimana telah digambatkan di atas
secara potensial memang sudah dimiliki sejak lahir dan perlu untuk
ditumbuhkembangkan melalui adanya suatu pendidikan, sehingga bisa menjadi suatu
kenyataan. Sebab, tanpa adanya pembinaan melalui pendidikan, benih-benih
individualitas yang sangat berharga tersebut akan memungkinkan terbentuknya
kepribadian unik dan akan tetap tinggal laten.
Kesanggupan untuk memikul tanggung jawabnya sendiri juga
menjadi ciri-ciri yang esensial dari adanya individualitas pada diri manusia.
Dengan kata lain, kepribadian seseorang tak akan terbentuk dengan sebagaimana
mestinya, sehingga seseorang tak akan mempunyai warna kepribadian yang khas
sebagai miliknya.
Apabila terjadi hal yang demikian, seseorang menjadi tak
memiliki kepribadian yang otonom dan orang yang seperti ini justru tak akan
mempunyai pendirian dan akan terbawa dengan sangat mudah oleh arus massa,
padahal, fungsi utama pendidikan ialah membantu para peserta didik untuk
membentuk kepribadiannya.
Sementara itu, pola pendidikan yang cenderung bersifat
demokratis, dipandang cocok untuk mendorong tumbuh kembang potensi dari
individualitas seseorang.
2. Dimensi Sosial
Dimensi
sosial pada diri manusia akan terlihat sangat jelas pada dorongan untuk bisa
bergaul satu sama lain, dengan adanya dorongan untuk bergaul tersebutlah,
setiap orang ingin bertemu dengan sesamanya. Manusia itu sendiri memang
dilahirkan sebagai suku bangsa tertentu dengan adat kebudayaan tertentu pula.
Sebagai
anggota suatu masyarakat, seseorang memiliki kewajiban untuk memiliki peran dan
menyesuaikan diri serta melakukan kerja sama terhadap masyarakat. Masih begitu
banyak contoh yang lain yang menunjukkan betapa dorongan sosial tersebut yang
kian kuat, tanpa orang sadari, sebenarnya ada alasan yang cukup kuat ikut
menopangnya.
Seorang
filosof, Immanuel Kant,
mengungkap jika manusia hanya menjadi manusia apabila berada di antara manusia
yang lain, maksudnya, tak ada manusia yang bisa hidup seorang diri, tanpa
membutuhkan bantuan dan uluran tangan dari orang lain.
Seseorang
bisa mengembangkan kegemaran, sikap, cita-cita di dalam berbagai macam
interaksi terhadap sesama. Tidak hanya itu saja, seseorang juga memiliki
kesempatan besar untuk belajar dari orang lain, mengidentifikasi sifat yang
dikagumi dari orang lain untuk dimilikinya, serta menolak sifat yang tak
dicocokinya.
Hanya dengan berinteraksi terhadap
sesama, dalam saling menerima dan saling memberi, seseorang akan sadar dan
menghayati akan kemanusiaannya. Banyak bukti jika manusia tak akan menjadi
manusia jika tak berada di antara manusia.
3. Dimensi Susila
Susila
berasal dari kata su dan sila, yang memiliki arti kepantasan lebih tinggi.
Namun, di dalam kehidupan bermasyarakat, orang tak cukup hanya berbuat yang
pantas jika di dalam yang pantas atau sopan tersebut misal terkandung kejahatan
yang terselubung.
Dimensi
susila ini juga bisa disebut sebagai keputusan yang lebih tinggi. Kesusilaan
ini diartikan mencakup dari etika dan etiket. Etika adalah persoalan kebijakan,
sedangkan untuk etiket adalah persoalan kepantasan dan kesopanan.
Pada
hakikatnya, manusia memang mempunyai kemampuan dalam mengambil suatu keputusan
susila, serta melaksanakan juga. Sehingga, dikatakan jika manusia itu adalah
makhluk susila.
Persoalan
akan kesusilaan selalu berhubungan erat dengan nilai-nilai kehidupan. Susila
ini berkembang, sehingga mempunyai perluasan arti menjadi kebaikan yang jauh
lebih sempurna.
Manusia
dengan kemampuan akal yang dimilikinya memungkinkan dalam menentukan suatu
manakah yang baik dan mana yang buruk, mana yang pantas dan mana yang tidak
pantas. Dengan adanya pertimbangan nilai budaya yang ikut serta dijunjung,
memungkinkan manusia untuk berbuat dan bertindak dengan susila.
Driyarkara, mengartikan manusia susila sebagai manusia yang mempunyai
nilai-nilai, menghayati dan melaksanakan nilai tersebut di dalam suatu
perbuatan.
Nilai-nilai
merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia, karena mengandung makna
kebaikan, keluhuran, kemuliaan dan lain sebagainya, sehingga bisa diyakini dan
dijadikan pedoman di dalam hidup. Pendidikan kesusilaan berarti menanamkan
kesadaran dan kesediaan dalam melakukan suatu bentuk kewajiban, di samping hak
pada para peserta didik.
4. Dimensi Agama
Pada
hakikatnya, manusia merupakan makhluk yang religius. Beragama menjadi suatu
kebutuhan manusia, karena manusia merupakan makhluk yang lemah, sehingga
membutuhkan tempat untuk bernaung atau bertopang dan agama menjadi sandaran
vertikal manusia.
Manusia
ialah makhluk religius yang mana dianugerahi oleh ajaran yang dipercaya di mana
didapat melalui bimbingan nabi, demi kesehatan tan demi keselamatan. Manusia
sebagai makhluk beragama memiliki kemampuan dalam menghayati pengalaman diri dan
dunianya, menurut dari agama masing-masing.Pemahaman agama didapatkan melalui
pelajaran agama, sembayang, doa-doa, maupun melalui meditasi, komitmen aktif
dan praktik ritual. Jauh dekatnya hubungan, ditandai dengan tinggi rendah dari
iman dan ketakwaan manusia yang bersangkutan.
Di dalam
masyarakat Pancasila, walaupun agama dan kepercayaan yang dianut itu
berbeda-beda, diupayakan tercipta kehidupan beragama yang mencerminkan adanya
saling pengertian, saling menghargai, kedamaian, ketenteraman dan persahabatan.
D. Tugas dan Tanggungjawab Manusia
1. Tugas dan Tanggungjawab Sebagai
Hamba Allah swt
Sebagai
hamba Allah tanggung jawab manusia amat luas di dalam kehidupannya, meliputi
semua keadaan dan tugas yang ditentukan kepadanya. Tanggungjawab manusia secara
umum digambarkan oleh Rasulullah SAW di dalam hadis berikut. Dari Ibnu Umar RA
katanya :
"Saya
mendengar Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud: "Semua orang dari engkau
sekalian adalah pengembala dan dipertanggungjawabkan terhadap apa yang
digembalainya. Seorang laki-laki adalah pengembala dalam keluarganya dan akan
ditanya tentang pengembalaannya. Seorang isteri adalah pengembala di rumah
suaminya dan akan ditanya tentang pengembalaannya. Seorang khadam juga
pengembala dalam harta tuannya dan akan ditanya tentang pengembalaannya. Maka
semua orang dari kamu sekalian adalah pengembala dan akan ditanya tentang
pengembalaannya.” (Muttafaq 'alaih).
Allah
mencipta manusia ada tujuan-tujuannya yang tertentu. Dalam hal ini pada
initinya manusia mengabdi untuk Allah, bukan karena mengharapkan yang lain.
Bentuk pengabdiannya tersebut berupa pengakuan atas keberadaan Allah SWT,
melaksanakan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Sebagai bentuk mengakui
keberadaan Allah adalah dengan mengikuti Rukun Iman dan Rukun Islam. Manusia
diciptakan untuk dikembalikan semula kepada Allah dan setiap manusia akan
ditanya atas setiap usaha dan amaI yang dilakukan selama ia hidup didunia.
2. Manusia Sebagai Khali’fah Allah
Antara
anugerah utama Allah kepada manusia ialah pemilihan manusia untuk menjadi
khalifah atau wakil-Nya di bumi. Dengan ini manusia berkewajiban menegakkan
kebenaran, kebaikan, mewujudkan kedamaian, menghapuskan kemungkaran serta
penyelewengan dan penyimpangan dari jalan Allah.
Firman Allah SWT:
(QS. Al-baqarah
: 30) : Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat :
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah”. Berkata mereka :
“Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalam nya dan
menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan
Engkau ?” Dia berkata : “Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui”.
(QS.
AI-Ahzab : 72) : Sesungguhnya Kami telah, mengemukakan amanat, kepada langit,
bumi dan gunung-gunung, maka semua enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.
E. Potensi
Manusia
Manusia dihadapan Allah swt bukanlah
seperti makhluk-makhluknya-Nya yang lain, akan tetapi seorang makhluk yang
memiliki kelebihan luar biasa. Hal itu terbukti dengan jatuhnya pilihan-Nya
dalam hal “Khalifah”, yakni sebagai pengganti-Nya dalam hal memanage alam dan
ekosistem illahiyah yang rahmatan lil’alamin, menaburkan potensi keselarasan,
kemanfaatan, musyawarah dan kasih sayang ke seluruh penjuru alam, baik alam,
baik alam di bumi maupun di langit, di dunia maupun di akhirat di alam lahir
(musyahadah) maupun alam batin (gaib), seperti Alam Malaikat, lam Jabarut (
alam sentral kekuasaan allah), dan Alam lahut (alam berorbitrasinya eksistensi
ketuhanan-Nya.
Kata khalifah memiliki makna
esensisal yang tinggi, yaitu seorang
pengganti Allah dengan martabat sebagai :
1. Sulthanullah (Penguasa Allah)
2. Malikullah
(Raja Allah)
3. Amirullah (Pemerintah Allah)
4. Walikullah (Wakil Allah)
5. Raisullah
(Pemimpin Allah)
6. Immamulah
(Imam Allah)
7. Thabibullah
(Penyembuh Allah)
8. Alimullah
(Ulama Allah)
9. Walliyullah (Kekasih Allah)
10. Nabiyullah
(Utusan Allah)
11. Rasulullah
( Utusan Allah)
Seorang
hamba Allah swt benar-benar telah bergelar sebagai khalifah dalam pandangan
Allah swt, adalah seorang hamba yang telah diberi potensi sebagaimana yang
dimiliki oleh orang-orang yang dicintai-Nya dan mencintai-Nya. Tidaklah layak
seseoang mengaku-ngaku sebagai khalifah Allah swt, tetapi ilmunya sempit,
spritualnya gelap dan dangkal, mentalnya rendah dan akhlaknya sangat buruk
bahkan pecinta dunia, materi dan kedudukan disisi dan kedudukan disisi manusia.
Dalam
rangka menjalankan tugas kekhalifahan yang sangat berat dan komplek, maka Allah
swt melimpahkan potensi illahiyah bersama kehadiran Nur dan Ruh yang bersifat
fitri dalam diri seorang insan yang menjadi pilihan.
Potensi-potensi yang
ada dalam diri manusia adalah :
1.
Potensi
Nur Illahiyah
Nur illahiyah ini aalah potensi yang
paling tinggi dan sifat nya luas, gaib dan tidak terbatas, karena ia sangat
dekat dengan eksistensi Allah swt. Esensi dari nur itu mengandung energi af al
(perbuatan-perbuatan Allah swt), asma (nama-nama Allah), sifat Allah dan dzat
Alah. Apabila nur telah hadir dan meresap serta integritas dalam diri manusia,
maka atas izin, quadrat dan iradat-Nya seluruh eksistensi keinsanannya akan
nampakkan cahaya-cahaya itu, yang berpotensi menghidupkan fungsi utamanya yaitu
membersihkan, mensucikan, membeningkan, menerangi, menampakkan, menunjukkan dan
mengantarkan kepada kutub kebenaran yang hakiki yaitu wajah Dzat Allah swt.
2. Potensi
Ruh Illahiyah
Allah swt berfirman :
“ Dan bila mereka bertanya kepadamu
tentang ruh; katakanlah : “Ruh itu merupakan urusan Tuhanku, dan kamu tidak
diberi ilmu (tentang ruh) melainkan hanya sedikit”. (Al isra, 17:85).
Ayat
ini turun karena adanya suatu peristiwa dimana orang-orang Yahudi menyuruh
orang-orang Quraisy agar menanyakan kepada rasulullah SAW tentang “Ashaabul
Kahfi, Dzul Qarmain dan ruh”. Kemudian Allah swt menerangkannya, khususnya
cerita tentang Ashaabul kahfi dan Dzul Qarmain. Sedangkan jawaban dari
pertanyaan mereka tentang Ruh adalah dengan turunnya ayat diatas.
Dalam permasalahan ruh ini banyak para ilmuwan dan
sebagian besar awam tersesat karenanya.
Agar terhindar dari kesesatan itu hendaklah tetap
berpegang teguh kepada Al-Kitab dan As- Sunnah, dan yang telah menjadi pedoman
bagi orang-orang shalih terdahulu, bahwa “Tidak ada Tuhan selain Allah dan
selain allah adalah alam (makhluk) Nya”.
3.
3. Potensi
Nafs Illahiyah
Dalam perspektif bahasa kata “nafs” memiliki
beberapa arti, seperti : jiwa, darah, badan, tubuh, dan orang. Dr.M.Quraisj
Shihab M.., menyatakan bahwa kata nafs dalam Al-Quran mempunyai beberapa makna,
sekali diartikan sebagai totalitas manusia, seperti antara lain maksud surat
Al-Maidah ayat 32, dikali lain ia menunjuk kepada apa yang terdapat dalam diri
manusia yang menghasilkan tingkah laku.
Pengertian nafs disini adalah yang berhubungan
dengan eksistensi seorang manusia sebagai hamba Allah swt hal mana ia memiliki
potensi yang khusus dalam diri setiap hamba. Dalam pandangan Al-Qur’an, nafs
diciptakan Allah swt dalam keadaan sempurana untuk berfungsi menampung serta
mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dank arena itu sisi dalam
manusia inilah yang oleh Al-Qur’an untuk diberi perhatian lebih besar.
4. 4.
Potensi
Qalb Illahiyah
Asal kata “Qalb” bermakna memalikkan, memalingkan
atau menjadikan yang diatas kebawah yang didalam keluar. Qalbu dalam bentuk
masdar atau kata benda mengandung arti lubuk hati, akal, kekuatan, semangat,
dan keberanian.
Pengertian
qalb disini adalah dalam makna rohaniyah dan ia tidak dapat dilihat dengan mata
kepala, kecuali dengan mata penglihatan batiniyah (mukasyafah). Ia merupakan
tempat menerima perasaan kasih sayang, pengajaran, pengetahuan, berita,
ketakutan, keimanan, keislaman, keikhlasan dan ketauhidan.
Arti
lubuk hati dalam Al-Qur’an, Allah menggunakan tiga macam kata, yaitu :
Pertama,
Al-Qalb : artinya lubuk hati yang yang masih bolak-balik dan belum mantap dalam
memutuskan suatu keyakinan dan kekuatan untuk menerima berita antara yang hak
dan batil.
Kedua,
Ash Shadr ; asal katanya adalah kejadian, kembali, permualaan dari segala sesuatu
, kukuh hati dan dada.
Ketiga,
Al-Fuad ; arti asalnya kematian, ketetapan manfaat dan hasil. Ketiga macam kata
yang sering dipergunakan didalam Al-Qur’an secara umum nmempunyai fungsi yang
sama, yaitu ia sebagai wadah dan media Allah di dalam menampakkan ayat-ayat-Nya
berupa gambaran dan pemandangan batin yang mengandung isyarat, pelajaran yang
tinggi sangat bermakna dan penuh dengan hikmah-hikmah.
5.
5. Potensi
Akal Illahiyah
Kata “Aql” tidak ditemukan didalam Al-Qur’an, yaitu
akal sebagai isim atau kata benda; yang ada hanya bentuk fi’il (kata kerja),
masa lalu (madhi), masa sekarang atau akan datang (mudhori’). Asal makna itu
adalah ikatan, tambatan, benteng atau penghalang.
Al-Qur’an menggunakan kata “Aql” ini untuk sesuatu
yang mengikat atau menghalangi seseorang, terjerumusnya dalam kesalahan atau
dosa. Penggunaan akal fikiran dalam Al-Qur’an ada tiga kata yang dipakai,
yaitu:
1. Aql,
kata ini menunjukkan penggunaan akal fikiran pada umumnya, baik ia adalah
orang-orang beriman ataupun tidak , atau akal fikiran bersifat awam.
2. Fikr,
penggunaan kata ini ditujukan bagi kerja otak para ahli, ulama atau
intelektual. Mereka adalah sekelompok insan yang memiliki potensi dalam
melakukan perenungan rasional yang bersifat ilmiah, yaitu obyektif, sistematis,
metodologis dan argumentatif.
3. Lub,
penggunaan kata ini kata ini ditunjukkan kepada kerja otak para Rasul, nabi,
Auliya atau ahli waris mereka. Untuk memahami ayat-ayat Allah swt yang bersifat
batiniyah, maka akal fikiran dalam pengertian “Lub” inilah yang mampu
menembusnya.
Potensi
Illahiyah adalah suatu energy nur yang dapat mengantarkan kepada pemahaman,
analisis, pembandingan, pertimbangan yang bersifat adil, musyawarah mufakat,
adanya keseimbangan dan kemanfaatan.
1.
6. Potensi
Inderawi Illahiyah
Allah swt telah menjadikan kesempurnaan yang lengkap
dalam diri seorang manusia dengan potensi inderawi, yaotu penglihatan,
pendengaran, penciuman, pengecap dan peraba. Kelima cabang atau macam potensi
inderawi itupun memiliki berbagai
tingkatan dan bobot. Bagi orang kebanyakan, kelimanya hanya untuk sekedar
pelengkap sebagai manusia yang hidup, akan tetapi mereka tidak dapat memahami
secara lebih spesifik, bahwa kelimanya memiliki fungsi illahiyah yang besar.
Indikasi potensi inderawi illahiyah telah berfungsi dengan baik danbenar akan
tampak pada kerjanya, antara lain :
a. Penglihatan
dapat menembus hakikat dari apa saja yang dilihat. Seperti dengan potensi ini
seseorang dapat melihat dzat , apakah ia berasal dari suatu yang halal dn hak
atau tidak. Ia dapat menangkap esensi wajah seseorang, apakah ia beriman,
bertauhid arau munafik.
b. Pendengaran
dapat menangkap suatu benda yang hak dan suatu yang batil, bahakan ia dapat
mendengar tasbih dan pujian dari seluruh alam dan isinya.
c. Penciuman
dapat merasakan aroma yanghak dan batil, atau haram dan hal, aroma orang-orang
yang shalih dan orang-orang yang ingkar kepada-Nya.
d. Pengecap
dapat merasakan makanan dan minuman yang halal dan haram, yang hak dan batil.
e. Peraba
dapat merasakan dan menangkap makna dan simbol dari apa-apa yang disentuhnya,
bahwa disana ada kebaikan dan keburukan kebatilan.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Manusia ialah makhluk ciptaan
Allah yang luar biasa. Pada hakekatnya, manusia adalah makhluk Allah yang
paling sempurna di bumi dengan segala kelebihan akal, hati nurani dan daya
pikir serta memiliki kemampuan untuk mengelola segala macam karunia dari Allah
di bumi ini. Akan tetapi manusia juga sebagai makhluk social yang tidak di
pungkiri dalam menjalankan kehidupannya pasti memerlukan bantuan orang lain.
Manusia sebagai makhluk
ciptaan Allah tentunya harus tunduk dan patuh terhadap segala peraturan Allah,
menjalankan perintahNya dan menjahui segala laranganNya. Karena pada dasarnya
semua peraturan yang Allah ciptakan untuk mengatur segala kehidupan bertujuan
untuk menciptakkan kehidupan yang damai, tentram dan membahagiakan.
Manusia dalam islam memiliki
peran dan fungsi yaitu sebagai khalifah serta tanggung jawab sebagai hamba
Allah yang harus selalu tunduk kepadaNya dan tanggung jawab sebagai khalifah.
DAFTAR
PUSTAKA
Adz-Dzaky, M. Hamdani bakran. 2001. Psikoterapi
Konseling Islam. Yogyakarta. Fajar Pustaka Baru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar