Selasa, 02 Oktober 2018

makalah Hakekat Manusia dalam Pandangan Islam


HAKIKAT MANUSIA DALAM PANDANGAN ISLAM
Disusun sebagai Tugas Psikoterapi dalam Islam
Dosen Pengampu  CiciYulia, M.Pd


 Kelompok 1

Disusun Oleh :
Dwi Putri Wulandari                         1601015046
Paramita Kurnia Damayanti            1601015056
Wiwi Rhamadona                              1601015073
Erina Kemalasari                               1601015078
Alfi Nur Madani                                 1601015082
Kirana Prabadini                               1601015102

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
JAKARTA
2018



KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil ‘aalamin puji syukur selalu kita panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan nikmat beliaulah kita bisa merasakan manis dan pahitnya hidup dan dengan nikmat itu pula kita bisa menyelesaikan tugas mata kuliah Psikoterapi dalam Islam ini dengan baik dan lancar.

Allahumma Sholli ‘ala Sayyidina Muhammad. Mudah–mudahan tetap terhaturkan kepada Nabi Muhammad SAW karena atas perjuangan beliaulah yang telah membawa kita dari jalan kebodohan menuju jalan kecerdasan sehingga kita dapat menyelesaikan dengan beberapa ilmu pengetahuan.
Penulisan makalah ini adalah salah satu persyaratan untuk memenuhi tugas Psikoterapi dalam Islam. Dan selanjutnya penulis juga menyadari bahwa tugas ini masih banyak kekurangan dan kesalahan, maka dari itu penulis mengharap saran dan kritik yang membangun dalam memperbaiki tugas ini, dan mudah–mudahan tugas ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.




Jakarta, 1 Oktober 2018


Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1
A.    Latar Belakang........................................................................................ 1
B.     Rumusan Masalah................................................................................... 2
C.     Tujuan..................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 3
A.    Pengertian Manusia ................................................................................ 3
B.     Asal Usul Manusia.................................................................................. 3
C.     Dimensi Hakikat Manusia....................................................................... 4
D.    Tugas dan Tanggungjawab Manusia ...................................................... 8
            E.     Potensi Manusia ..................................................................................... 9
BAB III PENUTUP ......................................................................................... 16
       A.    Simpulan ...……………………………………………………………..16
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 17





BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam fikiran adalah berbagai macam perspektif, ada yang mengatakan manusia adalah hewan rasional (animal rasional) dan pendapat ini dinyakini oleh para filosof. Pemikiran tentang hakikat manusia sejak zaman dahulu kala sampai sekarang belum juga berakhir dan memiliki kemungkinan hal tersebut tidak akan pernah berakhir. Pada kenyataannya, orang menyelidiki manusia itu dari berbagai sudut pandang. Banyak yang menyelidiki manusia dari segi fisik yaitu antropologi fisik, adapula yang menyelidiki dengan sudut pandang budaya yaitu antropologi budaya, sedangkan yang menyelidiki manusia dari sisi hakikatnya disebut antropologi filsafat. Memikirkan dan membicarakan hakikat manusia inilah yang menyebabkan orang tak henti-hentinya berusaha mencari jawaban yang memuaskan tentang pertanyaan yang mendasar tentang manusia itu sendiri, yaitu apa dari mana dan mau kemana manusia itu. Manusia dalam perkembangannya dipengaruhi lingkungan dan pembawaan dari orang tua mereka.
Al-Qur’an memberi keterangan tentang manusia dari banyak seginya, untuk menjawab pertanyaan siapakan manusia itu? Dari ayat-ayat Qur’an tersebut, dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk fungsional yang bertanggungjawab. Pada surat al-Mu’minun ayat 115 Allah bertanya kepada manusia sebagai berikut : “Apakah kamu mengira bahwa kami menciptakan kamu sia-sia, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”.
Dari ayat ini, menurut Ahmad Azhar Basyir, terdapat tiga penegasan Allah yaitu [1] Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan, [2] Manusia diciptakan tidak sia-sia, tetapi berfungsi, dan [3] Manusia akhirnya akan dikembalikan kepada Tuhan, untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan yang dilakukan pada waktu hidup di dunia ini, dan perbuatan itu tidak lain adalah relisasi daripada fungsi manusia itu sendiri. Berdasarkan fakta dan paparan tersebut, maka diperlukan adanya suatu pemahaman lebih lanjut tentang hakekat manusia menurut Islam.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang di maksud dengan manusia ?
2.      Bagaimana asal usul manusia ?
3.      Apa saja dimensi hakikat manusia ?
4.      Apa saja tugas dan tanggungjawab manusia ?
5.      Apa saja potensi yang dimiliki manusia ?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui pengertian manusia.
2.      Mengetahui asal usul manusia.
3.      Mengetahui dimensi hakikat manusia.
4.      Mengetahui tugas dan tanggungjawab manusia
5.      Mengetahui potensi yang dimiliki manusia.








BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Manusia
Manusia adalah salah satu makhluk ciptaan Allah SWt yang memiliki peranan penting dalam kehidupan di muka bumi. Manusia juga dipandang sebagai makhluk yang paling tinggi derajatnya dibandingkan makhluk Allah SWT bahkan Allah menyuruh para malaikat untuk bersujud kepada Adam Alaihi salam. Masyarakat barat memiliki pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki jiwa dan raga serta dibekali dengan akal dan pikiran.

B.     Asal Usul Manusia
Asal usul manusia dalam Islam dapat dijelaskan dalam proses penciptaan manusia pertama yakni nabi Adam As. Nabi Adam AS adalah manusia pertama yang diciptakan Allah SWT dan diberikan ilmu pengetahuan dan kesempurnaan dengan segala karakternya. Allah mengangkat Adam dan manusia sebagai khalifah dimuka bumi sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut ini
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat “Sesungguhya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan engkau?” Tuhan berfirman:”sesungguhnya aku mengetahui apa yan tidak kamu ketahui”.(QS.Al-Baqarah : 30)
Proses penciptaan manusia dijelaskan dalam al-Qur’an dan bahkan penjelasan dalam Alqur’an ini kemudian terbukti dalam ilmu pengetahuan yang ditemukan setelah turunnya Alqur’an. Ada lima tahap dalam penciptaan manusia yakni al-nutfah, al-‘alaqah, al-mudhgah, al-‘idham, dan al-lahm sebagaimana yang disebutkan dalam ayat berikut ini
”Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, dan segumpal darah itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami jadikan segumpal daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang(berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, pencipta yang paling baik”. (QS. Al-Mu’minun ayat 12-14)

C.    Dimensi Hakikat Manusia
1.      Dimensi Individual
Dimensi individual merupakan kepribadian seseorang yang menjadi suatu keutuhan yang tak lagi bisa dibagi-bagi. Seorang pakar pendidikan, M.J. Lavengeld, mengungkap jika setiap orang mempunyai individualitas.
Individualitas di sini maksudnya adalah 2 anak kembar yang berasal dari satu telssur yang lazim diungkap, seperti pinang dibelah dua dan sulit untuk dibedakan satu sama lain, yang mana memang kelihatannya serupa namun tak sama, apalagi identik. Hal ini berlaku pada sifat fisiknya ataupun dalam hidup kejiwaannya (rohani).
Setiap individu itu memiliki sifat yang unik, tidak ada bandingannya, dengan adanya individualitas tersebut, maka setiap orang bebas untuk berkehendak, berperasaan, menggapai cita-cita, kecenderungan, semangat dan daya tahan yang berbeda-beda.
Salah satu bentuk contoh sederhananya saja, 2 siswa di kelas yang memiliki nama sama, tentu tak akan pernah bersedia untuk disamakan satu sama lain, yang berarti, maksudnya, masing-masing ingin mempertahankan ciri khasnya sendiri yang dimiliki.
M. J. Lavengeled juga mengungkap jika setiap anak mempunyai dorongan tersendiri untuk bersikap mandiri dengan kuat, walaupun di sisi lain pada anak terdapat rasa yang tak berdaya, sehingga membutuhkan pihak lain, yang dimaksud di sini adalah pendidik yang bisa dijadikan sebagai tempat untuk bergantung dalam memberikan perlindungan dan bimbingan.
Sifat-sifat yang sebagaimana telah digambatkan di atas secara potensial memang sudah dimiliki sejak lahir dan perlu untuk ditumbuhkembangkan melalui adanya suatu pendidikan, sehingga bisa menjadi suatu kenyataan. Sebab, tanpa adanya pembinaan melalui pendidikan, benih-benih individualitas yang sangat berharga tersebut akan memungkinkan terbentuknya kepribadian unik dan akan tetap tinggal laten.
Kesanggupan untuk memikul tanggung jawabnya sendiri juga menjadi ciri-ciri yang esensial dari adanya individualitas pada diri manusia. Dengan kata lain, kepribadian seseorang tak akan terbentuk dengan sebagaimana mestinya, sehingga seseorang tak akan mempunyai warna kepribadian yang khas sebagai miliknya.
Apabila terjadi hal yang demikian, seseorang menjadi tak memiliki kepribadian yang otonom dan orang yang seperti ini justru tak akan mempunyai pendirian dan akan terbawa dengan sangat mudah oleh arus massa, padahal, fungsi utama pendidikan ialah membantu para peserta didik untuk membentuk kepribadiannya.
Sementara itu, pola pendidikan yang cenderung bersifat demokratis, dipandang cocok untuk mendorong tumbuh kembang potensi dari individualitas seseorang.

2.      Dimensi Sosial
Dimensi sosial pada diri manusia akan terlihat sangat jelas pada dorongan untuk bisa bergaul satu sama lain, dengan adanya dorongan untuk bergaul tersebutlah, setiap orang ingin bertemu dengan sesamanya. Manusia itu sendiri memang dilahirkan sebagai suku bangsa tertentu dengan adat kebudayaan tertentu pula.

Sebagai anggota suatu masyarakat, seseorang memiliki kewajiban untuk memiliki peran dan menyesuaikan diri serta melakukan kerja sama terhadap masyarakat. Masih begitu banyak contoh yang lain yang menunjukkan betapa dorongan sosial tersebut yang kian kuat, tanpa orang sadari, sebenarnya ada alasan yang cukup kuat ikut menopangnya.
Seorang filosof, Immanuel Kant, mengungkap jika manusia hanya menjadi manusia apabila berada di antara manusia yang lain, maksudnya, tak ada manusia yang bisa hidup seorang diri, tanpa membutuhkan bantuan dan uluran tangan dari orang lain.
Seseorang bisa mengembangkan kegemaran, sikap, cita-cita di dalam berbagai macam interaksi terhadap sesama. Tidak hanya itu saja, seseorang juga memiliki kesempatan besar untuk belajar dari orang lain, mengidentifikasi sifat yang dikagumi dari orang lain untuk dimilikinya, serta menolak sifat yang tak dicocokinya.
Hanya dengan berinteraksi terhadap sesama, dalam saling menerima dan saling memberi, seseorang akan sadar dan menghayati akan kemanusiaannya. Banyak bukti jika manusia tak akan menjadi manusia jika tak berada di antara manusia.

3.      Dimensi Susila
Susila berasal dari kata su dan sila, yang memiliki arti kepantasan lebih tinggi. Namun, di dalam kehidupan bermasyarakat, orang tak cukup hanya berbuat yang pantas jika di dalam yang pantas atau sopan tersebut misal terkandung kejahatan yang terselubung.
Dimensi susila ini juga bisa disebut sebagai keputusan yang lebih tinggi. Kesusilaan ini diartikan mencakup dari etika dan etiket. Etika adalah persoalan kebijakan, sedangkan untuk etiket adalah persoalan kepantasan dan kesopanan.
Pada hakikatnya, manusia memang mempunyai kemampuan dalam mengambil suatu keputusan susila, serta melaksanakan juga. Sehingga, dikatakan jika manusia itu adalah makhluk susila.
Persoalan akan kesusilaan selalu berhubungan erat dengan nilai-nilai kehidupan. Susila ini berkembang, sehingga mempunyai perluasan arti menjadi kebaikan yang jauh lebih sempurna.
Manusia dengan kemampuan akal yang dimilikinya memungkinkan dalam menentukan suatu manakah yang baik dan mana yang buruk, mana yang pantas dan mana yang tidak pantas. Dengan adanya pertimbangan nilai budaya yang ikut serta dijunjung, memungkinkan manusia untuk berbuat dan bertindak dengan susila.
Driyarkara, mengartikan manusia susila sebagai manusia yang mempunyai nilai-nilai, menghayati dan melaksanakan nilai tersebut di dalam suatu perbuatan.
Nilai-nilai merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia, karena mengandung makna kebaikan, keluhuran, kemuliaan dan lain sebagainya, sehingga bisa diyakini dan dijadikan pedoman di dalam hidup. Pendidikan kesusilaan berarti menanamkan kesadaran dan kesediaan dalam melakukan suatu bentuk kewajiban, di samping hak pada para peserta didik.

4.      Dimensi Agama
Pada hakikatnya, manusia merupakan makhluk yang religius. Beragama menjadi suatu kebutuhan manusia, karena manusia merupakan makhluk yang lemah, sehingga membutuhkan tempat untuk bernaung atau bertopang dan agama menjadi sandaran vertikal manusia.
Manusia ialah makhluk religius yang mana dianugerahi oleh ajaran yang dipercaya di mana didapat melalui bimbingan nabi, demi kesehatan tan demi keselamatan. Manusia sebagai makhluk beragama memiliki kemampuan dalam menghayati pengalaman diri dan dunianya, menurut dari agama masing-masing.Pemahaman agama didapatkan melalui pelajaran agama, sembayang, doa-doa, maupun melalui meditasi, komitmen aktif dan praktik ritual. Jauh dekatnya hubungan, ditandai dengan tinggi rendah dari iman dan ketakwaan manusia yang bersangkutan.
Di dalam masyarakat Pancasila, walaupun agama dan kepercayaan yang dianut itu berbeda-beda, diupayakan tercipta kehidupan beragama yang mencerminkan adanya saling pengertian, saling menghargai, kedamaian, ketenteraman dan persahabatan.

D.    Tugas dan Tanggungjawab Manusia
1.      Tugas dan Tanggungjawab Sebagai Hamba Allah swt
Sebagai hamba Allah tanggung jawab manusia amat luas di dalam kehidupannya, meliputi semua keadaan dan tugas yang ditentukan kepadanya. Tanggungjawab manusia secara umum digambarkan oleh Rasulullah SAW di dalam hadis berikut. Dari Ibnu Umar RA katanya :
"Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud: "Semua orang dari engkau sekalian adalah pengembala dan dipertanggungjawabkan terhadap apa yang digembalainya. Seorang laki-laki adalah pengembala dalam keluarganya dan akan ditanya tentang pengembalaannya. Seorang isteri adalah pengembala di rumah suaminya dan akan ditanya tentang pengembalaannya. Seorang khadam juga pengembala dalam harta tuannya dan akan ditanya tentang pengembalaannya. Maka semua orang dari kamu sekalian adalah pengembala dan akan ditanya tentang pengembalaannya.” (Muttafaq 'alaih).
Allah mencipta manusia ada tujuan-tujuannya yang tertentu. Dalam hal ini pada initinya manusia mengabdi untuk Allah, bukan karena mengharapkan yang lain. Bentuk pengabdiannya tersebut berupa pengakuan atas keberadaan Allah SWT, melaksanakan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Sebagai bentuk mengakui keberadaan Allah adalah dengan mengikuti Rukun Iman dan Rukun Islam. Manusia diciptakan untuk dikembalikan semula kepada Allah dan setiap manusia akan ditanya atas setiap usaha dan amaI yang dilakukan selama ia hidup didunia.

2.      Manusia Sebagai Khali’fah Allah
Antara anugerah utama Allah kepada manusia ialah pemilihan manusia untuk menjadi khalifah atau wakil-Nya di bumi. Dengan ini manusia berkewajiban menegakkan kebenaran, kebaikan, mewujudkan kedamaian, menghapuskan kemungkaran serta penyelewengan dan penyimpangan dari jalan Allah.
Firman Allah SWT:
(QS. Al-baqarah : 30) : Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah”. Berkata mereka : “Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalam nya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau ?” Dia berkata : “Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
(QS. AI-Ahzab : 72) : Sesungguhnya Kami telah, mengemukakan amanat, kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semua enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.

E.       Potensi Manusia
Manusia dihadapan Allah swt bukanlah seperti makhluk-makhluknya-Nya yang lain, akan tetapi seorang makhluk yang memiliki kelebihan luar biasa. Hal itu terbukti dengan jatuhnya pilihan-Nya dalam hal “Khalifah”, yakni sebagai pengganti-Nya dalam hal memanage alam dan ekosistem illahiyah yang rahmatan lil’alamin, menaburkan potensi keselarasan, kemanfaatan, musyawarah dan kasih sayang ke seluruh penjuru alam, baik alam, baik alam di bumi maupun di langit, di dunia maupun di akhirat di alam lahir (musyahadah) maupun alam batin (gaib), seperti Alam Malaikat, lam Jabarut ( alam sentral kekuasaan allah), dan Alam lahut (alam berorbitrasinya eksistensi ketuhanan-Nya.
Kata khalifah memiliki makna esensisal yang tinggi, yaitu seorang  pengganti Allah dengan martabat sebagai :
1.      Sulthanullah (Penguasa Allah)
2.      Malikullah (Raja Allah)
3.      Amirullah (Pemerintah Allah)
4.      Walikullah (Wakil Allah)
5.      Raisullah (Pemimpin Allah)
6.      Immamulah (Imam Allah)
7.      Thabibullah (Penyembuh Allah)
8.      Alimullah (Ulama Allah)
9.      Walliyullah (Kekasih Allah)
10.  Nabiyullah (Utusan Allah)
11.  Rasulullah ( Utusan Allah)

Seorang hamba Allah swt benar-benar telah bergelar sebagai khalifah dalam pandangan Allah swt, adalah seorang hamba yang telah diberi potensi sebagaimana yang dimiliki oleh orang-orang yang dicintai-Nya dan mencintai-Nya. Tidaklah layak seseoang mengaku-ngaku sebagai khalifah Allah swt, tetapi ilmunya sempit, spritualnya gelap dan dangkal, mentalnya rendah dan akhlaknya sangat buruk bahkan pecinta dunia, materi dan kedudukan disisi dan kedudukan disisi manusia.
Dalam rangka menjalankan tugas kekhalifahan yang sangat berat dan komplek, maka Allah swt melimpahkan potensi illahiyah bersama kehadiran Nur dan Ruh yang bersifat fitri dalam diri seorang insan yang menjadi pilihan.

Potensi-potensi yang ada dalam diri manusia adalah :
1.    Potensi Nur Illahiyah
Nur illahiyah ini aalah potensi yang paling tinggi dan sifat nya luas, gaib dan tidak terbatas, karena ia sangat dekat dengan eksistensi Allah swt. Esensi dari nur itu mengandung energi af al (perbuatan-perbuatan Allah swt), asma (nama-nama Allah), sifat Allah dan dzat Alah. Apabila nur telah hadir dan meresap serta integritas dalam diri manusia, maka atas izin, quadrat dan iradat-Nya seluruh eksistensi keinsanannya akan nampakkan cahaya-cahaya itu, yang berpotensi menghidupkan fungsi utamanya yaitu membersihkan, mensucikan, membeningkan, menerangi, menampakkan, menunjukkan dan mengantarkan kepada kutub kebenaran yang hakiki yaitu wajah Dzat Allah swt. 
                         2.     Potensi Ruh Illahiyah
     Allah swt berfirman : 
“ Dan bila mereka bertanya kepadamu tentang ruh; katakanlah : “Ruh itu merupakan urusan Tuhanku, dan kamu tidak diberi ilmu (tentang ruh) melainkan hanya sedikit”. (Al isra, 17:85).
Ayat ini turun karena adanya suatu peristiwa dimana orang-orang Yahudi menyuruh orang-orang Quraisy agar menanyakan kepada rasulullah SAW tentang “Ashaabul Kahfi, Dzul Qarmain dan ruh”. Kemudian Allah swt menerangkannya, khususnya cerita tentang Ashaabul kahfi dan Dzul Qarmain. Sedangkan jawaban dari pertanyaan mereka tentang Ruh adalah dengan turunnya ayat diatas.
Dalam permasalahan ruh ini banyak para ilmuwan dan sebagian besar awam tersesat karenanya.
Agar terhindar dari kesesatan itu hendaklah tetap berpegang teguh kepada Al-Kitab dan As- Sunnah, dan yang telah menjadi pedoman bagi orang-orang shalih terdahulu, bahwa “Tidak ada Tuhan selain Allah dan selain allah adalah alam (makhluk) Nya”.

3.      3. Potensi Nafs Illahiyah
Dalam perspektif bahasa kata “nafs” memiliki beberapa arti, seperti : jiwa, darah, badan, tubuh, dan orang. Dr.M.Quraisj Shihab M.., menyatakan bahwa kata nafs dalam Al-Quran mempunyai beberapa makna, sekali diartikan sebagai totalitas manusia, seperti antara lain maksud surat Al-Maidah ayat 32, dikali lain ia menunjuk kepada apa yang terdapat dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku.
Pengertian nafs disini adalah yang berhubungan dengan eksistensi seorang manusia sebagai hamba Allah swt hal mana ia memiliki potensi yang khusus dalam diri setiap hamba. Dalam pandangan Al-Qur’an, nafs diciptakan Allah swt dalam keadaan sempurana untuk berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dank arena itu sisi dalam manusia inilah yang oleh Al-Qur’an untuk diberi perhatian lebih besar.

4.         4.  Potensi Qalb Illahiyah
Asal kata “Qalb” bermakna memalikkan, memalingkan atau menjadikan yang diatas kebawah yang didalam keluar. Qalbu dalam bentuk masdar atau kata benda mengandung arti lubuk hati, akal, kekuatan, semangat, dan keberanian.
Pengertian qalb disini adalah dalam makna rohaniyah dan ia tidak dapat dilihat dengan mata kepala, kecuali dengan mata penglihatan batiniyah (mukasyafah). Ia merupakan tempat menerima perasaan kasih sayang, pengajaran, pengetahuan, berita, ketakutan, keimanan, keislaman, keikhlasan dan ketauhidan.

Arti lubuk hati dalam Al-Qur’an, Allah menggunakan tiga macam kata, yaitu :
Pertama, Al-Qalb : artinya lubuk hati yang yang masih bolak-balik dan belum mantap dalam memutuskan suatu keyakinan dan kekuatan untuk menerima berita antara yang hak dan batil.
Kedua, Ash Shadr ; asal katanya adalah kejadian, kembali, permualaan dari segala sesuatu , kukuh hati dan dada.
Ketiga, Al-Fuad ; arti asalnya kematian, ketetapan manfaat dan hasil. Ketiga macam kata yang sering dipergunakan didalam Al-Qur’an secara umum nmempunyai fungsi yang sama, yaitu ia sebagai wadah dan media Allah di dalam menampakkan ayat-ayat-Nya berupa gambaran dan pemandangan batin yang mengandung isyarat, pelajaran yang tinggi sangat bermakna dan penuh dengan hikmah-hikmah.

5.                 5. Potensi Akal Illahiyah
Kata “Aql” tidak ditemukan didalam Al-Qur’an, yaitu akal sebagai isim atau kata benda; yang  ada hanya bentuk fi’il (kata kerja), masa lalu (madhi), masa sekarang atau akan datang (mudhori’). Asal makna itu adalah ikatan, tambatan, benteng atau penghalang.
Al-Qur’an menggunakan kata “Aql” ini untuk sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang, terjerumusnya dalam kesalahan atau dosa. Penggunaan akal fikiran dalam Al-Qur’an ada tiga kata yang dipakai, yaitu:
1.      Aql, kata ini menunjukkan penggunaan akal fikiran pada umumnya, baik ia adalah orang-orang beriman ataupun tidak , atau akal fikiran bersifat awam.
2.      Fikr, penggunaan kata ini ditujukan bagi kerja otak para ahli, ulama atau intelektual. Mereka adalah sekelompok insan yang memiliki potensi dalam melakukan perenungan rasional yang bersifat ilmiah, yaitu obyektif, sistematis, metodologis dan argumentatif.
3.      Lub, penggunaan kata ini kata ini ditunjukkan kepada kerja otak para Rasul, nabi, Auliya atau ahli waris mereka. Untuk memahami ayat-ayat Allah swt yang bersifat batiniyah, maka akal fikiran dalam pengertian “Lub” inilah yang mampu menembusnya.
Potensi Illahiyah adalah suatu energy nur yang dapat mengantarkan kepada pemahaman, analisis, pembandingan, pertimbangan yang bersifat adil, musyawarah mufakat, adanya keseimbangan dan kemanfaatan. 
 

1.                 6. Potensi Inderawi Illahiyah
Allah swt telah menjadikan kesempurnaan yang lengkap dalam diri seorang manusia dengan potensi inderawi, yaotu penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecap dan peraba. Kelima cabang atau macam potensi inderawi  itupun memiliki berbagai tingkatan dan bobot. Bagi orang kebanyakan, kelimanya hanya untuk sekedar pelengkap sebagai manusia yang hidup, akan tetapi mereka tidak dapat memahami secara lebih spesifik, bahwa kelimanya memiliki fungsi illahiyah yang besar. Indikasi potensi inderawi illahiyah telah berfungsi dengan baik danbenar akan tampak pada kerjanya, antara lain :
a.    Penglihatan dapat menembus hakikat dari apa saja yang dilihat. Seperti dengan potensi ini seseorang dapat melihat dzat , apakah ia berasal dari suatu yang halal dn hak atau tidak. Ia dapat menangkap esensi wajah seseorang, apakah ia beriman, bertauhid arau munafik.
b.    Pendengaran dapat menangkap suatu benda yang hak dan suatu yang batil, bahakan ia dapat mendengar tasbih dan pujian dari seluruh alam dan isinya.
c.    Penciuman dapat merasakan aroma yanghak dan batil, atau haram dan hal, aroma orang-orang yang shalih dan orang-orang yang ingkar kepada-Nya.
d.   Pengecap dapat merasakan makanan dan minuman yang halal dan haram, yang hak dan batil.
e.    Peraba dapat merasakan dan menangkap makna dan simbol dari apa-apa yang disentuhnya, bahwa disana ada kebaikan dan keburukan kebatilan.

BAB III
PENUTUP
A.  Simpulan
Manusia ialah makhluk ciptaan Allah yang luar biasa. Pada hakekatnya, manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna di bumi dengan segala kelebihan akal, hati nurani dan daya pikir serta memiliki kemampuan untuk mengelola segala macam karunia dari Allah di bumi ini. Akan tetapi manusia juga sebagai makhluk social yang tidak di pungkiri dalam menjalankan kehidupannya pasti memerlukan bantuan orang lain.
Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah tentunya harus tunduk dan patuh terhadap segala peraturan Allah, menjalankan perintahNya dan menjahui segala laranganNya. Karena pada dasarnya semua peraturan yang Allah ciptakan untuk mengatur segala kehidupan bertujuan untuk menciptakkan kehidupan yang damai, tentram dan membahagiakan.
Manusia dalam islam memiliki peran dan fungsi yaitu sebagai khalifah serta tanggung jawab sebagai hamba Allah yang harus selalu tunduk kepadaNya dan tanggung jawab sebagai khalifah.

         DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzaky, M. Hamdani bakran. 2001. Psikoterapi Konseling Islam. Yogyakarta. Fajar Pustaka Baru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

makalah Hakekat Manusia dalam Pandangan Islam

HAKIKAT MANUSIA DALA M PANDANGAN ISLAM Disusun sebagai Tugas Psikoterapi dalam Islam Dosen Pengampu  CiciYulia, M.Pd   K...